Uskup Ende dan Ketua MUI Bilang Partai Politik Gagal Mencerdaskan Rakyat
Pos Kupang - Minggu, 9 Juni 2013 | 22:13 WITA
POS KUPANG.COM, ENDE -- Partai politik (parpol) dan pemerintah di Nusa Tenggara Timur (NTT) gagal mencerdaskan rakyat dalam berpolitik sehingga ketika pemilihan kepala daerah seperti pemilihan gubernur, rakyat lebih memilih berdasarkan faktor agama dan suku.
Demikian pendapat pemimpin agama, yakni Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) NTT, Drs. Abdul Kadir Makarim; Uskup Agung Ende, Mgr. Vincentius Sensi Potokota, dan Ketua MUI Kabupaten Ende, Haji Djamal Humris, yang dihubungi terpisah, Sabtu (8/6/2013).
Mereka diminta komentarnya terkait pemilihan gubernur putaran kedua, di mana rakyat memilih berdasarkan faktor agama dan suku.
Menurut Uskup Sensi, ideal kedewasaan berpolitik mayoritas raktat NTT masih jauh dari perilaku hidup berbangsa dan bernegara. "Hemat saya hal itu terjadi karena sengaja atau tidak disengaja dikerdilkan oleh para pemangku kepentingan politik, termasuk partai politik yang amat terbelit gurita pragmatisme politik," kata Uskup Sensi.
Uskup Sensi menilai, kewajiban parpol dan pemerintah untuk mencerdaskan rakyat dalam berpolitik amat disepelekan. Pemerintah sebagai regulator pun jauh dari peran yang semetinya dalam pendidikan politik.
Sementara kaum intelektual dan akademisi, demikian Uskup Sensi, kalah kuat dalam upaya membudayakan politik yang sehat dibanding daya merusak dari kepentingan politik pragmatis yang masif dan dengan kekuatan duit pula (money politic) yang terus membodohkan rakyat.
Uskup Sensi mengatakan, selama parpol belum sehat dalam kiprah tugas dan tanggung jawabnya, tidak terhindarkan, warna primodialisme akan tetap kental dalam politik pilkada di NTT.
"Dalam kaitan dengan mayoritas pemilih yang tersandra penyakit primodialisme, kondisi kemiskinan ekonomi tetap jadi variabel logis yang menyuburkan. Tidak adil rakyat dipersalahkan," tegas Uskup Sensi.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Ende, Haji Djamal Humris, mengatakan, masyarakat NTT belum cerdas dalam berpolitik.
"Mestinya harus dipahami bahwa kita mau memilih pimpinan wilayah atau gubernur untuk penyelenggaraan pemerintahan. Bukan untuk memimpin lembaga keagamaan. Tentu yang dikedepankan adalah figur yang dipandang mampu menjalankan pemerintahan. Bukan karena figur tersebut lebih dekat karena sesuku atau seagama. Atau karena lebih religius dari figur yang lain. Bukan itu," tegas Haji Djamal.
Menurut dia, apa yang terjadi saat ini karena masyarakat belum paham betul syarat-syarat apa yang dibutuhkan untuk seorang calon gubernur. "Kita perlu belajar dari masyarakat Jakarta ketika memilih Jokowi dan Ahok menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta," ujarnya.
Ketua MUI NTT, Drs. Abdul Kadir Makarim, mengatakan, selama ini saat pemilihan gubernur, bupati dan walikota selalu mengedepankan pola pemikiran primordial dengan memilih seorang pemimpin berdasarkan suku dan agama.
Menurut dia, masih kuatnya pemikiran primodial di NTT, tidak terlepas dari kegagalan parpol memberikan pendidikan politik yang benar bagi masyarakat NTT. "Memang pemikiran yang primodial tidak bisa dihindari lagi dalam perhelatan politik pemilihan kepala daerah. Apalagi di NTT yang sangat kental dengan primodial tentu pemikiran seperti ini pasti selalu mewarnai perhelatan politik di daerah ini," kata Abdul Kadir.
Ia mengatakan, idealnya dalam memilih seorang kepala daerah, pemikiran primodial harus dihindari karena proses demokrasi pemilihan kepala daerah bukan untuk memilih kepala suku atau pemimpin agama.
Pemikiran primodial, demikian Makarim, terkadang dihembuskan oleh tim sukses dan pengurus parpol untuk mempengaruhi masyarakat dalam memilih seorang kepala daerah.
"Priomodial mulai dihembuskan tim sukses dan pengurus partai demi memenangkan jagonya, sehingga dipilih rakyat. Ini kegagalan partai politik dalam melakukan pembinaan berdemokrasi yang baik bagi masyarakat," tegas Makarim.
Dalam memilih kepala daerah, lanjut Makarim, terkadang juga tokoh agama ikut memberikan dukungan kepada jagonya. "Tokoh agama sebagai panutan harus bersikap netral agar umat beragama bisa memilih seorang pemimpin dengan hati nurani, dan tidak berdasarkan agama dan suku," tegasnya. (rom/ben)
Foto : Uskup Agung Ende, Mgr. Vincentius Sensi Potokota