Minggu Pagi di Gereja Tua Sikka
Sabtu, 7 April 2012 | 08:58 WIB
Gereja St Ignatius Loyola di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, dikenal juga sebagai Gereja Tua Sikka, yang bangunannya diresmikan pada 24 Desember 1899. | KOMPAS/ARYO WISANGGENI GENTHONG
Gereja St Ignatius Loyola di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, dikenal juga sebagai Gereja Tua Sikka, yang bangunannya diresmikan pada 24 Desember 1899.
Oleh Aryo Wisanggeni G
Sikka nama desa yang jauh dari Maumere, kota kecil yang sekarang menjadi ibu kota Kabupaten Sikka. Sebuah kampung kecil di pesisir selatan Pulau Flores, yang menyisakan berbagai sejarah yang berpusar pada Gereja Tua Sikka.
Mobil yang kami tumpangi berguncang keras melewati jalan rusak menuju Desa Sikka. Sepuluh menit berlalu sejak kami meninggalkan Nita, sebuah kecamatan di selatan Maumere.
Jalan aspal mulus yang menghubungkan kota Maumere dan kota Ende membuat Karel Siga Siprianus (36) tega memacu diesel Daihatsu tua milik Paroki Nita. Mesin mobil itu memang perkasa, tetapi badan mobilnya yang renta berderit-derit. Apalagi setelah mobil melewati pertigaan menuju Desa Sikka, dengan jalan aspalnya yang tak lagi mulus.
Minggu pagi itu, langit biru bersih. Pepohonan di kiri-kanan jalan masih segar dibasahi embun, semerbak rumput basah menyeruak lewat jendela mobil.
Memasuki Desa Lela, rumah beratap daun kelapa berjajar di tepi pantai Laut Sawu yang berujung di pesisir utara Australia. Di halaman beberapa rumah, terlihat seperti nisan, beberapa dinaungi atap seng yang berwarna kecoklatan.
”Itu memang makam keluarga pemilik rumah,” ujar Karel ketika ditanya tentang nisan di halaman rumah warga. ”Jika kami yang ditinggalkan masih sangat mencintai mereka yang meninggal, jenazahnya akan dimakamkan di halaman rumah,” ujar Karel, yang kini menjalankan mobil menyusuri jalan di tepi pantai.
Akhirnya kami memasuki Desa Sikka. Jam masih menunjukkan pukul 06.40 Wita. Warga sudah bergegas menuju Gereja Tua Sikka untuk mengikuti misa. Gereja tua yang kini bernama Gereja St Ignatius Loyola itu sejarahnya terentang sejak abad ke-14.
Dari Selat Malaka
Gorris Tamela, seorang tetua Desa Sikka, mampu menguraikan sejarah gereja ini karena ia hafal sejarah Moang Lesu Liardira Wa Ngang, raja Sikka pada abad ke-14 yang menjadi awal-mula Gereja Tua Sikka dan tradisi tua mereka. Kronik yang berawal dari cerita Lesu muda, yang berjuluk Ina Gete Amagahar (pintar, berwibawa, dan didengar), bertualang ke Selat Malaka.
Di Selat Malaka, ia bertemu para misionaris Katolik asal Portugis, yang lantas membaptis Lesu muda dengan nama permandian Don Aleksius dan terkenal sebagai Don Alexu Ximenes da Silva. Penguasa di Malaka, Jogo Worilla, menghadiahi Da Silva sebuah Senhor atau salib dari Portugis, berikut patung Meniho (kanak-kanak Yesus). Ditemani seorang Portugis bernama Agustinho Rosario da Gama, Da Silva pulang ke Sikka, membangun kapel kecil bagi Senhor dan Meniho yang dibawanya.
Sejak itu, Sikka rutin dikunjungi misionaris Portugis. Pada 1617, gereja Katolik menempatkan pastor pertamanya di Sikka, Pastor Manoel de Sa OP, membangun tradisi Gereja Tua Sikka yang masih kita saksikan hingga kini. Dari Sikka pula para misionaris menjelajah hingga ke Maumere, hingga Stasi Maumere didirikan pada 1873.
Seiring perkembangan kota Maumere, pada 14 Desember 2005 berdirilah Keuskupan Maumere, membawahi Paroki Sikka, cikal-bakalnya. Gereja Tua Sikka juga diikuti pendirian berbagai sekolah, termasuk Seminari Menengah pada 1926, yang kini telah ditutup. Sekolah-sekolah itu menyebarkan lulusannya ke berbagai wilayah di Flores, baik sebagai imam maupun awam.
Gereja Tua Sikka yang kini berdiri memang bukan bangunan kapel yang dahulu didirikan Da Silva. Gereja Tua Sikka hari ini adalah bangunan yang selesai didirikan pada 1899, didasarkan rancangan Pastor Antonius Dijkmans SJ, arsitek perancang Katedral Jakarta. Gereja itu dibangun mulai 1893 dan diresmikan Pastor J Engbers SJ pada 24 Desember 1899.
Pintu kayu
Pukul 06.45, pintu gerbang Gereja Tua Sikka masih terbuka, menyambut jemaat. Pintu kayu tua tebal, berurat-urat karena kering, dengan engsel pintu bertangkai yang kusam. Pintu gerbang yang sama dengan pintu gerbang yang dibuat Bruder van Leeuwnberg SJ bersama para tukang dari Larantuka, 113 tahun lalu.
Kubah gereja menggantung setinggi 10 meter, disangga oleh jalinan kuda-kuda atap dari kayu jati yang belum pernah diganti. Lukisan kaca di atas altar pun masih lukisan altar yang dipasang para pembangunnya.
Jemaat ibu-ibu hadir mencolok di dalam gereja dengan mengenakan sarung tenun ikat terbaik mereka, duduk di bangku tanpa sandaran. Semua khidmat menghadap altar berlatar dinding biru dan coklat yang dipadati ornamen lembut motif kain tenun khas Sikka. Menjelang dimulainya misa, beberapa jemaat yang terlambat berjalan memintasi makam yang berjejal di kiri-kanan bangunan gereja.
Sebuah bangunan kapel kecil di halaman utara gereja yang menyimpan Senhor dan Meniho tertutup rapat. Buah tangan Da Silva dari Malaka itu hanya dikeluarkan pada perayaan Jumat Agung, Perarakan Suci Logu Senhor. Pintu yang tertutup itu meliarkan khayal tentang sejarah yang melatarinya.
Rumah panggung pastoran di seberang Gereja Tua Sikka, yang melapuk dimakan usia hingga panggungnya jebol di sana-sini, terlihat kusam dan tertutup rapat. Dua meriam dari Malaka yang dibawa Pastor Fransisco Damato OP pada 1629 teronggok di sela rerumputan. Gedung pastoran baru telah dibangun di selatan rumah panggung itu.
Tepat pukul 07.00, ditutuplah pintu gerbang gereja. Jemaat yang terlambat berteduh di bawah pohon kelapa yang berjajar di halaman, menyimak lamat-lamat khotbah Pastor Felix Rongeytu Pr.
Saya bergabung dengan Karel, yang ”bersembunyi” di bawah naungan pohon sukun di halaman pastoran, menunggu misa selesai. Pukul 08.15, pintu gerbang gereja terbuka, keluarlah jemaat, saling memberi salam dan bertukar kabar. Beberapa lainnya menziarahi pusara-pusara di samping bangunan gereja.
Matahari mulai tinggi, satu demi satu jemaat meninggalkan halaman gereja.
Sumber : Kompas Cetak
Editor : I Made Asdhiana