Friday, 21 June 2013

Ledalero Mulanya Bukit Angker (1)


GKN.COM -- Tanggal 20 Mei tahun ini Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, seminari tinggi terbesar SVD sejagad dan salah satu seminari tinggi terbesar dalam Gereja Katolik di dunia, merayakan ulang tahunnya yang ke-75. Perayaan syukur untuk peristiwa penting ini dilaksanakan bulan September ini.


Inilah nukilan sejarahnya.


LEDALERO, mulanya adalah sebuah bukit yang dianggap angker oleh penduduk, dijauhi karena dipandang menjadi hunian roh-roh yang mudah tersinggung. Kini, bukit ini memiliki daya tarik yang mengundang perhatian banyak pihak, pemerintah dan masyarakat Indonesia, dan para anggota SVD dan sahabat-sahabat mereka di berbagai negara.


Karena ribuan alumninya yang tersebar di berbagai tempat sebagai imam misionaris dan awam yang berkiprah di berbagai bidang, karena gagasan-gagasan yang disumbangkan dari bukit ini untuk Gereja dan bangsa Indonesia, Ledalero bukan lagi sebuah tempat terpencil dan tertutup. Semuanya ini bermula 75 tahun yang lalu. Apa yang terjadi waktu itu?


Pada tanggal 20 Mei 1937 Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero secara resmi/kanonis didirikan. Pada hari itu, P. Wilhem Gier, pemimpin tertinggi Serikat Sabda Allah (SVD) saat itu, mengeluarkan keputusan untuk mendirikan sebuah rumah pendidikan para calon imam, biarawan misionaris SVD di Ledalero. Keputusan itu dibuat berdasarkan izin yang diberikan oleh Vatikan pada tanggal 5 Mei 1937.


Keputusan mendirikan seminari tinggi Ledalero dimotivasi terutama oleh ensiklik Maximum Illud dari Paus Benedictus XV pada tahun 1919. Ensiklik ini diterbitkan setahun setelah berakhirnya Perang Dunia I. Menurut P. Frans Cornelissen yang sangat berjasa dalam pendidikan para calon imam di Nusa Tenggara, aktor intelektual di balik ensiklik ini adalah pemimpin Kongregasi Propaganda Fide saat itu, Kardinal Willem van Rossum CSSR.


Gereja Katolik yang waktu itu semata-mata mengandalkan para misionarisnya dari Barat, harus mengalami kenyataan bahwa perubahan situasi politik tiba-tiba dapat mempersulit pengiriman para misionaris ke berbagai tempat di dunia. Sebab itu, Paus mendorong secara serius perekrutan tenaga imam dan biarawan dari wilayah-wilayah misi.


Di Indonesia, terobosan yang lebih berani ke arah pendidikan para calon imam pribumi dilakukan para Yesuit di Jawa. Dua orang dari angkatan pertama sekolah pendidikan guru di Muntilan, Jawa Tengah, menamatkan pendidikan gurunya pada tahun 1911 dan melamar untuk menjadi imam.


Hanya seorang yang kemudian meneruskan pendidikannya mulai tahun 1914 di Belanda dan ditahbiskan imam tahun 1926. Pada tanggal 16 Juli 1915 Petrus Darmaseputra dan Fransiscus Satiman diterima menjadi novis Yesuit di Belanda. Pada tahun 1923 para Suster Fransiskanes dari Heythuisen membuka novisiat mereka.


Itu berarti empat abad setelah terjadinya penyebaran agama Katolik secara sistematis dan berkesinambungan, barulah putera-puteri Indonesia dianggap pantas menjadi imam dan biarawan/ti. Dibutuhkan waktu sekian lama, bukan karena tidak ada orang Indonesia berniat menggabungkan diri, tetapi karena orang masih menganut pandangan bahwa orang Indonesia asli tidak memiliki bakat untuk menjalani kehidupan seperti ini.


Tanggapan atas Maximum Illud di Nusa Tenggara diberikan oleh Mgr. Arnold Verstraelen yang menugaskan P. Frans Cornelissen untuk memulai sebuah seminari menengah. Menurut Mgr. Verstraelen, Vikariat Sunda Kecil yang pada waktu itu telah memiliki lebih dari 100.000 orang Katolik, sudah perlu mempunyai sebuah seminari.


Menurut pengakuan P. Cornelissen, Mgr. Verstraelen memberikan penugasan kepadanya untuk mendirikan seminari seminggu setelah dia tiba bersama tiga rekan dan tiga bruder SVD di Ende. Mulanya dia hanya disuruh ke Sikka atau Lela. Kemudian Uskup katakan, "Sudah ada begitu banyak orang Katolik di sini. Dan ada juga ensiklik Bapa Suci yang mengajak para uskup misi untuk membuka seminari.


Sudah ada juga beberapa orang muda yang telah menyampaikan maksudnya akan menjadi imam. Maka kami berpendapat: Pater bisa mulai dengan seminari itu". Frans Cornelissen memang memiliki ijazah sebagai guru, dan sebelum berangkat ke Indonesia sudah diingatkan oleh Pater J. Bouma yang menjadi rektor rumah misi Uden, bahwa sangat mungkin dia akan ditugaskan untuk menjadi penilik sekolah.


Namun, dia tidak pernah membayangkan bahwa dirinya yang baru saja tiba di Flores langsung diberi kepercayaan untuk memulai satu tugas yang belum pernah dilaksanakan sebelumnya. Uskup Verstraelen memang mempunyai visi tentang Gereja Nusa Tenggara yang turut dipimpin oleh tenaga imam pribumi. Namun, dia tidak mempunyai gambaran yang sangat jelas mengenai bagaimana program pembinaan para calon pribumi itu harus dilaksanakan.


Kepada P. Cornelissen dia katakan, "Sudah pasti harus diberikan Latin, bahasa Belanda dan Agama. Di samping itu bileh putuskan sendiri apa saja yang perlu dan berguna. Engkau seorang guru, maka lebih tahu dari saya mana yang perlu."


Berbekalkan kepercataan itu, Frans Cornelissen memulai seminari pertama di Nusa Tenggara. Ide besar dengan dampak sejarah yang panjang ternyata tidak dimulai dengan membangun fasilitas serba lengkap. Orang tidak mulai dengan bangunan dan fasilitas lain. Orang mulai dengan manusia.


Sejarah seminari di Nusa Tenggara bermula pada tanggal 2 Februari tahun 1926 dengan menggunakan pendopo pastoran Lela sebagai ruang kelas. P. Cornelissen mendampingi 6 siswa pertama wilayah di Flores dan Timor. Tiga setengah tahun kemudian, pada tanggal 15 September 1929, seminari ini dipindahkan untuk menempati rumah yang dirancang dan dibangun khusus untuk tujuan itu, yakni di Todabelu-Mataloko.


Frans Cornelissen adalah tokoh pendidikan, yang mempunyai prestasi besar bagi perkembangan pendidikan pada umumnya di Flores, secara khusus pendidikan para calon imam.


Dia harus menghadapi banyak tantangan. Misalnya, pandangan sejumlah misionaris tentang ketaklayakan orang-orang pribumi untuk menjadi imam, dan dengan demikian menjadi pemimpin dalam Gereja Katolik; persoalan pembiayaan untuk lembaga pendidikan; bahasa Melayu yang masih kurang dipahami oleh P. Cornelissen sendiri sebagai syarat untuk dapat mendampingi secara efektif para seminaris. Kendati terdapat sejumlah tantangan, pendidikam seminari tetap dijalankan. (Paul Budi Kleden/bersambung)

Foto : KAPELA Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero


Editor : Gabriel Krado Baomekot
Sumber : Pos Kupang

Comments
0 Comments

0 komentar:

"Lemer Watu Ita Mogat,Blawak Papan Hama-hama, Epan Gawan Mogam sawen, Ama Pu Benjer Maumere-Gabriel Krado".