Rekonsiliasi Budaya di Kabupaten Sikka
Mof oke/by.Gabrielkradobaomekot
Oleh: Longginus Diogo *
Suara Flores cetak edisi 74 Juli 2013, memuat topik berjudul “Siapa Calon Walikota dan Wakil Walikota DOB Maumere Medatang?”. Sebuah ulasan menarik tulisan Oscar P. Mandalangi, berkisar pada 3 (tiga) pokok pikiran. Pertama : Rakyat Kabupaten Sikka mengharapkan Bupati Sikka Yos Ansar Rera dan Wakil Bupati Sikka Paulus Nong Susar dapat menyingkirkan perbedaan suku, asal usul, dan mengutamakan pembangungan multi sektoral, tanpa membedakan Timur, Tengah, dan Barat serta tanpa membedakan Etnis Sikka Krowe, Lio Krowe, Krowe Tana Ai, Muhang Tana Ai, PaluE dan Tidung Bajo. Tentunya tidak menyingkirkan keanekaragaman etnis atau Bhineka Tunggal Ika. Etnis itu harus dipahami dan dihormati keberadaannya, karena etnis adalah cermin jati diri. Kedua : Bapak Oscar P. Mandalangi memperkenalkan Hikayat Kerajaan Sikka, yang sebenarnya mengandung kelainan sejarah yaitu adanya Dualisme Sejarah Asal-Usul Ata Sikka, yang sama dengan Wake Puang dan Sikka Krowe I. Sikka Krowe sebuah kelainan sejarah telah saya ulas dalam Suara Flores Edisi IV Juli 2009. Sedangkan Wake Puang Mengandung Dualisme Sejarah Asal Usul Ata Sikka saya ulas dalam Suara Flores Edisi VII Minggu III Agustus 2009. Ketiga : Bapak Oscar P. Mandalangi mengusulkan ide-ide mengenai manajemen dan pola kebijakan mengelola Pemerintahan DOB Maumere.
Bapak Oscar dalam ulasan ini menampilkan pula sebuah versi baru pembagian wilayah Etinis di Kabupaten Sikka. (1) Versi Buku Sikka Krowe I (1990) Bapak Oscar membagi Wilayah Etnis atas Sikka Krowe, Sikka Muhang, Muhang, PaluE, Lio Krowe dan Tidung Bajo. (2) Versi Suara Flores Edisi 74 Juli 2013 Oscar membagi wilayah etnis atas Sikka Krowe, Krowe Tana Ai, Muhang Tana Ai, PaluE, Lio Krowe dan Tidung Bajo. Barisan kesimpang siuran pembagian wilayah etnis bertambah menjadi 9 versi yaitu : versi Oscar P. Mandalangi I (1990), versi Oscar P. Mandalangi II (2013), versi Longginus Diogo , (2001), versi Paulus Nong Susar, (2004), versi Keuskupan Maumere (2006), versi Julianus Celsius (2006), versi Alex Longginus I, (2007), versi Alex Longginus II (2008) dan versi Dinas Pariwisata Kab. Sikka (2008).
Semua perbedaan ini tentunya harus diselesaikan dengan duduk bersama, dan dialog bersama melalui sebuah Rekonsiliasi Budaya. Kita menduduk letakkan sejarah dan etnisitas secara kontekstual sehingga terciptalah kesamaan persepsi dan kesatuan pendapat.
Pada tahun 2005 saya sudah melakukan kritisi terhadap buku Mengarang Samudra Bangsa, tulisan Paulus Nong Susar (sekarang Wakil Bupati Sikka). Brosur Saya Itu Berjudul Doto Beli Molo, Sebuah Tinjauan Kritis Terhadap Analisa Hasil Penelitian Dan Pengembangan (Litbang) Yayasan Flores Sejahtera (Sanres) Dalam Buku Mengarang Samudra Bangsa, Tulisan Paulus Nong Susar. Mengarung Samudra Bangsa ini adalah sebuah karya bersar bertujuan mulia. Pertama : Menggali sejarah dan struktur sosial masarakat Kabupaten Sikka. Kedua : Berkehendak menyamakan persepsi masyarakat Sikka, KangaE, Nita dan Lio Maumere (SIKANILIMA), yang tertimpa primordial sempit, tersulut sentimen kewilayahan, dan tertekan fanatisme kesukuan terutama pada masa Pilkada. Ketiga : Melakukan Rekonsiliasi, lewat deklarasi massa rakyat.
Namun cita-cita mulia ini ternoda kelainan sejarah yang ditimba dari naskah sumber yang mengandung kelainan sejarah yaitu Wake Puang, Sikka Krowe I, dan Pelangi Sikka. Kelainan sejarah itu tersirat dalam Analisa Perbandingan Persepsi Masyarakat tentang fakta sejarah (butir 5.5.1) yang menyimpulkan pertama : Kerajaan Sikka adalah kerajaan tertua sejak pengaruh Moang Bata Jati Jawa sebagai boneka Majapahit pada tahun 1279. Kesimpulan Divisi Litbang Sanres ini berbeda dengan pendapat Oscar yakni pengaruh Bata Jawa di Nuhan Ular Tana Loran baru terjadi pada tahun 1500. Kedua : Kerajaan Nita berdiri pada tahun 1885. Kesimpulan ini berbeda dengan pendapat Michael Beding dalam buku Pelangi Sikka. Menurut Pelangi Sikka Kerajaan Nita sudah ada sejak jaman Portugis dengan rajanya Juang Ngaris, seputar tahun 1600-an. Ketiga : Kerajaan KangaE berdiri pada tahun 1902. Kesimpulan ini menggerogoti eksistensi Kerajaan KangaE. Kerajaan KangaE kehilangan 38 Raja Adat, yang dituturkan secara utuh dalam warisan kisah Tradisi Lisannya atau Naruk Dua Moan Latung Lawang, sebagai warisan budaya turun temurun.
Sangat disayangkan karena Divisi Litbang Sanres hanya berpijak pada Naskah Sumber Kerajaan Sikka, Wake Puang, Sikka Krowe I dan Pelangi Sikka. Sejarah Kerajaan KangaE dan Kerajaan Nita tidak digali. Saya termasuk dari 36 Nara Sumber, namun tidak pernah dimintai informasi Kerajaan KangaE. Karena itulah dalam rasa tanggung jawab moral sebagai Nara Sumber saya menampilkan tinjauan kritis Doto Beli Molo. Dalam Bab 5, saya sudah mengulas sejarah Kerajaan KangaE, kerajaan Bekor Nian Tawa Tana atau sebuah Kerajaan Tradisional di Nuhan Ular Tana Loran (DBM Hal. 62-89).
Doto Beli Molo sampai saat ini belum mendapat tanggapan dari Divisi Litbang Sanres atau Paulus Nong Susar penulis Buku Mengarung Samudra Bangsa. Tanggapan pertama terhadap Doto Beli Molo datang dari E. P. da Gomez melalui suratnya tertanggal 5 November 2005. Beliau mengkritisi secara khusus tentang Bab 4 “Kanilima” Adalah Sebuah Forum Demokrasi dan Gerakan Reformasi. Dan saya telah menanggap baliknya, melalui surat saya tertanggal 26 November 2005. Menyusul tanggapan kedua datangnya dari Kepala Kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bali, NTB, NTT – Denpasar. Dalam suratnya tertanggal 14 Juni 2007 Nomor : 211/UM/BPNST/14.VI/2007 hal : Dialog Kerajaan Tradisional, Etnisitas, dan Identitas Budaya Sikka.
Saya termasuk salah satu dari lima pemakalah yang ditampilkan Kantor BPSNT Bali, NTB, NTT. Dengan memberikan tema makalah, Dialog Kerajaan Tradisional Etnisitas dan Identitas Budaya Sikka dalam Perspektif Mulitkulturalisme. Saya bangga karena Doto Beli Molo mendapat tanggapan positif dari pihak Depbudpar Cq Kantor BPSNT Bali, NTB, NTT. Dan saya telah meyusun sebuah makalah berjudul Menelusuri Sejarah Kerajaan dan Pembagian Wilayah Budaya di Kabupaten Sikka. Dialog terselengara pada 12 Desember 2007. Dalam mana saya telah memaparkan kelainan sejarah dan kesimpangsiuran Wilayah Budaya di Kabupaten Sikka. Lalu tanggapan yang ketiga datang dari Oscar P. Mandalangi, melalui suratnya tertanggal Medio Agustus 2007, dan saya telah menanggap baliknya melalui surat saya 26 Agustus 2007. Tanggap jawab tentang kelainan sejarah dan kesimpangsiuran pembagian Wilayah Budaya di Kabupaten Sikka sudah berlangsung lama dan alasan-alasan panjang, baik melalui surat menyurat dan opini di surat kabar. Dialog Kerajaan Tradisional dan pembagian wilayah budaya sudah difasilitasi oleh kantor BPSNT Bali, NTB, NTT bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Sikka. Namun hingga saat ini belum ada tindak lanjutnya. Malah Dinas Pariwisata Kabupaten Sikka, terjebak menciptakan Versi Pembagian Wilayah Etnis Baru.
Bapak Paulus Nong Susar Staf Divisi Litbang Sanres dan Penulis Buku Mengarung Samudra Bangsa, sekarang Wakil Bupati Sikka adalah budayawan muda yang peduli akan sejarah dan struktur sosial budaya di kabupaten Sikka harus menindaklanjuti Dialog Kerajaan Tradisional, Etnisitas dan identitas Budaya Sikka yang sudah dirintis kantor BPSNT Bali, NTB, NTT – Denpasar. Saatnya ide Litbang Sanres tentang Rekonsiliasi Budaya di Kabupaten Sikka dapat direalisasikan.
Marilah kita duduk bersama menyamakan persepsi dan menyatukan pendapat untuk menanam kejujuran dan menabur kebenaran. Kita menduduk letakkan sejarah dan wilayah Etnis di Kabupaten Sikka secara benar dan utuh atau secara kontekstual (Puter Beli Mudeng-Mudeng Ganu Dua Purek Puter Kapa Doto Beli Molo-Molo Ganu Moan Joga Doto Wiro).
Penulis: budayawan Sikka, Tinggal di Kewapante Maumere, FLores, NTT
sumber : Suaraflores.com (http://suaraflores.com/rekonsiliasi-budaya-di-kabupaten-sikka/)